MENCARI TUHAN DI WARUNG KOPI

Posted on at


'' MENCARI TUHAN DI WARUNG KOPI "



 


 

..“Ketika abad 21 ditandai dengan seruan kebangkitan spiritualisme dari dunia Barat, kita tergopoh-gopoh memperebutkan sepetak tanah tak bertuan bernama tasawuf…”, begitulah kalimat pembuka dari Ilung S. Enha, seorang seniman dari komunitas Jaguar Surabaya, dalam karyanya berjudul Mencari Tuhan di Warung Kopi~Meraih Cinta Tanpa Guru, yang juga menjadi salah satu buku favorit saya.
………..Tasawuf, dalam pengamatan Ilung, yang notabene merupakan salah satu jalan menghampiri Tuhan, telah dibuat terlalu elitis dan kaku oleh “orang-orang saleh”. Bahkan sebagian ada yang seakan memonopoli Tuhan untuk kalangan mereka sendiri, menganggap mereka-lah yang paling kenal dengan Tuhan.
………..Ada beberapa rekonstruksi pemikiran yang cukup menarik dalam wacana yang disodorkan Ilung perihal tasawuf kekinian.
………..Pertama, masalah polemik mengenai definisi tasawuf. Ilung menekankan, tak perlulah kita membuang-buang energi untuk hal ini. Tasawuf, baginya tak lebih ibarat adalah sebuah permen. Kita tentu tak bisa menjabarkan kepada orang lain bagaimana rasa permen itu, sebab yang ada hanya akan menjadikan pertentangan yang tak berarti. Cukup berikan saja permen itu, dan biarkan orang mengunyah permen yang kita berikan. Maka ia akan paham apa dan bagaimana itu permen jika ia sudah merasakan. Begitu pula dengan tasawuf. Menyodorkan tasawuf dalam bentuk-bentuk definisi, hanya akan membuat orang yang belum merasakannya mengernyitkan alis. Biarkan mereka merasakan, bagaimana tasawuf itu sendiri.
………..Kedua, keutamaan meniadakan tokoh-tokoh besar tasawuf. Bagi Ilung, tokoh-tokoh besar dalam dunia tasawuf, hanya akan menjadi batu sandungan bagi para penempuh jalan tasawuf. Ketika seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang ia banggakan, justru akan menjadi bumerang baginya. Sebab ketika ia mengetahui betapa curam dan terjalnya jalan tasawuf, dan pada akhirnya ia tak memperoleh apa yang ia inginkan sebagaimana apa yang sudah diperoleh tokoh yang dibanggakannya itu, ia akan berbalik memaki bahwa tokoh yang dielukannya itu adalah pembohong besar. Padahal penyebabnya hanya satu, ia terlalu berambisi ingin memperoleh target seperti tokoh yang dikaguminya. Sedangkan syarat utama untuk memperoleh hasil yang sama di jalan tasawuf seperti tokoh-tokoh terdahulu, tak lain adalah harus adanya kesamaan antara si tokoh dan dirinya. Jadi ditekankan adanya independensi dan originalitas dalam menempuh jalan tasawuf.
………..Ketiga, mengenai hal yang sangat esensial dan elementer, yakni perihal syariat-tarikat-hakikat-makrifat. Selama ini, kita kadung beranggapan bahwa ia adalah sebuah jalan menuju Tuhan yang digambarkan menanjak. Orang-orang yang terjun ke dalam dunia tasawuf, menjadi beranggapan bahwa tasawuf adalah arena kompetisi untuk saling beradu kecepatan agar segera sampai pada tingkatan-tingkatan yang diidamkan, hingga menjadikan makrifat sebagai puncak, akhir sebuah pendakian spiritual. Marikita mengingat kembali spirit dasar Islam, bahwa semua makhluk adalah sama dan sederajat, kecuali kadar ketaqwaannya. Namun akan sangat kontras jika spirit ini dihadapkan pada paradigma syariat-tarikat-hakikat-makrifat yang menanjak itu. Seolah memang ada strata-strata khusus dalam spiritualitas Islam. Nah, di sini, Ilung mengajukan sebuah gagasan, bagaimana kalau paradigma jalan syariat-tarikat-hakikat-makrifat yang terkesan menanjak itu, diubah menjadi sebuah jalan melingkar. Sehingga seorang yang sudah mencapai makrifat, bisa kembali ke awal dan bertemu dengan mereka-mereka yang masih start di jalan syariat. Begitu pula mereka yang telah menempuh jalan hakikat, akan saling berjumpa dengan mereka-mereka yang berada di jalan tarikat dan syariat, bertegur sapa dengan mereka yang sudah melalui jalan makrifat. Mereka yang telah menempuh seluruh lingkar jalan, yakni pejalan makrifat, dengan sendirinya akan menjadi tumpuan pertanyaan bagi para pejalan yang baru melangkah. Nah, jika sudah begini, maka gugurlah kompetisi yang tidak perlu itu, alih-alih, para pejalan yang biasa saling bersitegang, malah akan saling akrab. Semuanya saling berbagi pengalaman di jalan-jalan yang mereka lalui dengan penuh kehangatan. Dengan begitu, masalah kusut dalam dunia tasawuf, dengan sendirinya akan terselesaikan. Dan bukankah ini makna sejati dari sebuah perjalanan menuju Tuhan?
………..Keempat, perihal independensi dalam menempuh tasawuf. Beberapa kalangan sufi beranggapan, bahwa menempuh tasawuf tanpa guru (mursyid), maka syetan-lah yang akan membimbingnya. Adalah suatu hal yang paradoks dan tidak masuk akal, bagaimana mungkin seorang syetan membimbing manusia memasuki tasawuf yang notabene adalah kawah candradimukanya penempaan keimanan. Di sini pun, konteks mursyid harus dilihat dari situasi zaman. Zaman dulu, seorang mursyid jelas merupakan sebuah keniscayaan. Sebab pada masa lampau, pengetahuan manusia pada umumnya masih dalam taraf terbata. Jelas membiarkan seseorang berjalan sendirian dalam jalan gelap tasawuf, adalah sebuah kesalahan fatal. Namun sekarang? Jelas tidak relevan lagi, dimana manusia modern sudah identik dengan kemandirian dan ditandai dengan gejala skeptisisme kepada siapapun, tentunya lebih mempercayai diri sendiri (intuisi). Tak bisa dibayangkan, jika pada zaman sekarang, manusia harus taqlid kepada seorang mursyid, yang jelas-jelas kita tak tahu bagaimana tingkah-polah kesehariannya.
………..Kelima, mengenai omong besar tasawuf. Kita kerap mendengar statemen, ketika seseorang sudah mencapai tahap makrifat, maka bolehlah ia meninggalkan makrifat-tarikat dan syariat, dan boleh melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama. Salah kaprah ini akan sirna dengan sendirinya dengan kenyataan bahwa tak ada syariat tanpa makrifat, dan begitu pula sebaliknya. Juga, poin ketiga di atas, sudah dengan gamblang menelanjangi kebobrokan pernyataan penuh omong-kosong ini. Omong besar lainnya, adalah ketika seseorang sudah mengamalkan amalan-amalan tasawuf, lalu serta merta ia menganggap dirinya suci, dan pantas mendapat gelar sufi. Sehingga tak jarang kita melihat orang yang seolah alim, namun suka mencibir orang lain yang kapasitas ibadahnya biasa-biasa. Padahal, semakin seseorang mendekat kepada Rabb-nya, ia semakin menunduk seperti padi. Ia semakin sulit dikenal orang-orang sekitar lantaran ia semakin menjadi orang yang amat biasa.
………..Untuk poin kelima ini, saya punya kisah nyata dari seorang sahabat. Cukup menarik menurut saya. Ceritanya, sahabat saya ini bertemu dengan seorang kakek, tak lain tetangga dekatnya sendiri, yang sudah berhaji satu kali. Di kita, lazim orang yang sehabis pulang berhaji, akan menyulap pakaian sehari-harinya dengan yang serba putih, termasuk peci, dan itu sah-sah saja, dan hak siapa saja. Namun kakek yang satu ini lain.
………..“Nak, aki ini sebetulnya pengen banget pake peci putih, tapi jujur, aki belum kuat mengenakannya…”
Sahabat saya benar-benar tercengang dan dibuat kagum. Terlebih jika ada orang yang memanggilnya “Pak Haji”, kontak si kakek ini langsung marah.
………..“Sejak kapan aki jadi berganti nama, dan pantes dengan sebutan haji?!,” kata si kakek sambil bergumam.
………..Ah… tak hanya titel haji yang kau terima, Kek. Bahkan insya Allah, kakek sudah mabrur! Bahkan mungkin kaulah sufi yang disembunyikan-Nya. Kenapa tidak? Pekerjaannya seharian bukanlah berlama-lama duduk atau ongkang-ongkang di mesjid, melainkan membersihkan got yang kotor, sehingga kolam untuk mencuci buat orang-orang menjadi bersih. Paling pertama datang dan langsung terjun ke lapangan jika ada acara kerja bakti. Pokoknya ia lebih banyak dekatnya dengan orang-orang, meski anehnya ia tak banyak diperhatikan. Bukankah manusia yang dekat kepada Tuhannya, adalah mereka yang banyak kontribusinya dan senantiasa lebih dekat dengan orang-orang sekitar?
………..Yah, pokoknya begitulah Ilung mengisahkan kegelisahan spiritualnya dalam melakukan pencarian. Bagi Ilung, Mencari Tuhan di Warung Kopi tentu saja bukan omong kosong. Kita bisa belajar dari para pengunjung warung kopi, saling bertukar pengalaman, dan lain sebagainya. Menemukan Cinta tanpa guru. Toh, berlama-lama di tempat ibadah pun bukan jaminan bahwa seseorang senantiasa ingat kepada Tuhan. Bukankah Tuhan juga tidak pernah membatas-batasi hamba-Nya untuk terus menemui-Nya? Yang jelas, buku ini menawarkan sebuah pandangan baru dalam mencari Tuhan secara akrab, elegan, dan sekaligus menyenangkan.


About the author

fandy-pratama

saya adalah saya

Subscribe 0
160