Tiga Sahabat

Posted on at


Langit tak akan runtuh begitu saja dengan sikap manusia yang menyebalkan. Hujan yang begitu derasnya mengguyur kota ini tak lagi kuhiraukan. Toh sudah musimnya. Walaupun ia datang tidak tepat waktu. Aku coba memandang dan melihat sekelilingku. Tempat ini, yang orang sebut jalan raya, dihiasi dengan cat putih di tengahnya. Mereka memberi pembatas untuk dua jalur. Hampir tak ada pohon. Ya, pohon. Bukan tumbuhan yang tingginya hanya sekitar dua meter. Menyusuri jalan ini, aku pasti teringat dengan masa kecilku. Aku jauh dari rumah. Jalan ini jauh dari tempatku tinggal. Belum lagi ketika ayah menceritakan kisahnya saat masih bujang. “Dulu, disini adalah rawa”, sembari menunjuk kawasan di seberang sungai yang kini dibangun ruko. “Ah, seserakah itukah manusia?” pikirku.
 
Kini, aku telah berada di rumah. Beberapa foto yang sempat kulihat ketika orang-orang membangun rumahku. Mungkin 20 tahun silam. Hanya ada tanah kosong yang dipenuhi dengan rangka kayu. Belum ditumbuhi pohon di pekarangan. Tapi sekarang, aku bahagia melihat ibu yang rajin mengurusi bunga dan tanaman di pekarangan. Setidaknya, hal inilah yang membuatku tenang ketika berada di teras. Tak luas memang. Tak seluas bangunan yang kulihat menjamur di pinggir jalan tadi. Tetaplah subur wahai bunga. Semoga engkau tak pusing akan keserakahan manusia yang tak peduli lagi dengan saudara-saudaramu di pinggir jalan sana.
 
Bagi mereka, lebih penting menyediakan tempat lalu lalang untuk kendaraan besi beroda empat dibanding hidup tenang tanpa rasa tamak. Coba tengok kehidupan mereka itu? Yang lebih senang dengan jalan yang mulus dan lebar. Kasihan dengan jalan-jalan kota ini. Yang menjadi tempat memamerkan kemewahan dan keangkuhan. Seakan ingin menghipnotis seluruh mata. Kasihan pohon. Yang lebih dulu meninggalkan saudaranya demi keangkuhan dan keserakahan. Kasihan ya.
Wajar saja jika air selalu bercengkrama lama dengan jalan ketika musim penghujan datang. Air, yang menjadi sahabat karib pohon telah terkikis. Pohon hanya bisa melihat dengan pasrah bila air senang berlama-lama dengan jalanan. Entah apa yang mereka perbincangkan. Mungkin tentang manusia, mungkin kuda besi, atau mungkin juga tentang nasib pohon. Aku terusik juga dengan romantisme air dan jalanan. Seakan sudah tahu jadwal yang pasti, mereka gampang ditemukan di setiap sudut jalan jika musim penghujan datang. Aku iri. Mengapa mereka berdua begitu mesra. Bahkan, kemesraan mereka sampai membuat manusia pun geram. Ya, manusia geram. Entah apa alasannya. Seakan manusia tak senang dengan mereka. Haha. Aku hanya bisa larut dengan kesenangan air dan jalan.

Sudahlah. Biarkan pohon dengan hidupnya yang tak jelas di jalan. Sembari menanti dengan was-was kedatangan manusia dengan mesin bergerigi yang akan menggelitiknya hingga rebah. Lalu jalan menjadi saksi, dan langitpun menangis. Air pun telah beralih hati.

-Abdurrakhman Aslam, 25 September 2013-


TAGS:


About the author

Wahyu-Harun

mari berteman ;-)

Subscribe 0
160