Seniorku

Posted on at


Panggil saja Lisa, gadis cerdas dan dewasa itu telah sukses menarik perhatian banyak mahasiswa baru. Cara bicaranya yang terkesan intelek mencerminkan seolah-olah dia telah mengunyah berbagai macam buku dan gagasannya yang terbuka membuat ia semakin menarik bagi para pencinta ilmu pengetahuan amatiran seperti diriku.

 

Penampilannya modis dan rapi, kulit putihnya kontras dengan kemeja biru tua yang ia kenakan, bila bertatapan bola matanya menapilkan keramahan, namun bisa saja sekali-kali ciduk mata itu tajam mengenai dirimu, tajam dan seolah menelanjangi segala isi kepalamu. Ketajaman mata itu menunjukkan betapa kuat analisanya, betapa dalam ilmunya, dan betapa kau semakin terbuai dengan segala retorika yang ia mainkan.

 

Kupikir ia seorang perempuan muslim yang baik, sebab sebuah jilbab coklat muda bertengger di kepalanya, itu berarti selain ia pengagum ilmu pengetahuan ia pun mempunyai pemahaman yang baik tentang Islam.

 

Aku mengenalnya, saat tak sengaja bertemu di bus. Hari pertama kuliah perdanaku di pascasarjana dan hari pertama pula aku bertemu dengan kenalan baru. Beruntung.

 

“ saya Lisa, semester tiga jurusan Ekonomi.” Sapanya sambil menjulurkan tangan tidak lama setelah duduk di kursi bus di sampingku.

 

“Saya Anggi, mahasiswa baru.” Kusambut salamannya dengan senyum seramah mungkin

 

“Asli dari mana?”

 

“Saya Asli Makassar.”

 

“O, Kalau gitu selamat datang di kota pendidikan. Ini nomor handphone saya, kalau kau membutuhkan sesuatu mungkin itu bisa menjadi awal yang baik untuk kita.” Gadis itu menyodorkan secarik kertas sebelum kami turun dari bus menuju kampus besar di kota ini.

 

Berminggu-minggu kulalui di kota ini. Persis dengan sapaannya kota pendidikan, atmosfer pendidikan begitu kental tercium di kota ini, Mahasiswa lalu lalang menenteng buku-buku tebal  dan diskusi ilmiah bisa ditemukan dimana saja, kantin kampus, café, warung kopi, taman-taman bahkan di atas bus.

Kondisi ini membuat semangat keilmuanku semakin besar.

 

Inilah Kota pendidikan. Batinku

 

Kecintaan pada ilmu telah membawaku sampai ke sini, hasrat untuk mengimprove potensi itu masih terpatri dihati, jauh di balik tabir jiwa yang terdalam, aku ingin memandang lebih luas lagi sepanjang cakrawala pengetahuan yang menaburi bumiNya.

 

Semangat keilmuan itu mengantarkanku pada pertemuan dan diskusi dengan Lisa, Senior di kampus. Dan ini bisa menjadi proses yang baik menurutku. Dia disiplin dan cerdas, punya kenalan dan relasi yang luas, dan lebih penting dia mempunyai hubungan yang sangat baik dengan beberapa dosen.

 

Bukankah saya harus belajar pada orang-orang hebat seperti dirinya?

 

“Kau tahu Nggi’, Apa yang paling berbahaya dan menjadi sumber kehancuran di bumi ini?” Lisa mulai memancing rasa penasaranku.

 

“Koruptor.” Jawabku sekenanya meski aku sendiri tidak yakin kalau itu benar

 

“Bukan, yang paling menakutkan di muka bumi ini adalah agama.” Jawabnya sambil menikmati jus Apel di hadapan kami

 

“Agama? Kenapa bisa?” Keterkejutanku tidak mampu kututup

 

“yah, Agama itu memaksa manusia untuk patuh pada perintah tuhan, tapi agama itu juga menjadi alat yang paling memungkinkan untuk memenangkan sebuah kepentingan. Kau  tahu kenapa Eropa sempat memasuki masa kegelepan? sebab di sana tidak ada kesempatan ilmu pengetahuan menunjukkan eksistensinya. Semua karena dogma paus dan gereja, aksioma palsu yang mengatasnamakan tuhan.

 

Konflik yang terjadi di negara ini pun tidak lepas dari agama. Konfilk Ambon dan Poso apalagi yang menjadi alas an kalau bukan agama. Masjid-masjid, pangajian-pengajian semuanya menjadi topeng untuk menciptakan bibit teroris, tak perlu jauh-jauh kau sendiri bisa melihat di sekitar kita banyak kelompok-kelompok islam yang menciptakan kebanggan atas kelompoknya. Kelompok-kelompok itu yang berpotensi menghancurkan kedamaian manusia dan kelompok itu jelas mempunyai kepentingan sendiri. Mereka mengobral agama.”

 

“Jadi bagaimana menurut kakak sebagai seorang muslimah?” tanyaku seketika

 

“Tidak menerima pemikiran kolot dari islam itu sendiri. Sebagai seorang akademisi aku jelas menolak doktrin  yang sudah tidak sesuai dengan zamannya. Terlalu banyak yang harus direvisi, dan kita bisa menggunakan standar ilmu pengetahuan yang modern untuk membabat itu semua. Kita butuh pembaharuan Anggi’ , dan itu butuh kesadaran serta keinginan memandang segala sesuatu itu lebih luas dan kompleks. Umat islam harus realistis, terlalu idealis membuat mereka akan menciptakan bibit teroris lagi dan lagi.

 

Kau tahu mengapa Indonesia tidak bisa bangkit seperti negara-negara Maju lainnnya? Itu karena sekarang adalah era informasi, Negara-negara besar telah melalui fase pembangunan, industri dan sekarang teknologi informasi. Tanpa terkecuali Indonesia pun ditutuntut untuk memasuki kondisi ini. Padahal di satu sisi Indonesia mempunyai penduduk yang masih berpikiran kolot dan sangat konservatif. Apa jadinya alat-alat canggih, aplikasi luar biasa dihadapkan dengan otak-otak konservatif? Kemunduran Itu semua jelas karena doktrin agama.”

 

Diskusi-demi diskusi kulalui dengan kak Lisa, tak kusangka dia bisa memiliki gagasan dan argumen yang begitu menohok. Meski aku secara pribadi belum bisa menerima pendapatnya secara keseluruhan tapi setiap gagasan yang dia berikan membuat rasa penasaranku semakin besar. Siapa sebenarnya perempuan itu?

 

“Hati-hati loh Nggi’ bergaul dengan Mahasiswa disini.” Ucap Dijah setelah mendengar cerita diskusiku tadi siang. “di sini bukan kota asal kamu, ini kota pendidikan segala arus pengetahuan dan pemikiran berkembang dan mempunyai penganut setianya. Banyak dari kalangan akademisi yang sangat cinta pada ilmu pengetahuan, mereka melahap buku demi buku dan menikmati macam-macam teori para orientalis tanpa mereka seleksi terlebih

dahulu.Semuanya ditelan mentah-mentah, Kamu pikir semua teory barat itu benar? “ Jelas Dijah perempuan  yang menikah dua tahun lalu dengan kakakku. Mereka berdua aktif di lembaga dakwah kampus, dan memilih menetap di Jogja setelah menikah.  Dijah asli perempuan jogja dan memilih untuk menunda kuliahnya sementara kakakku Alif sejak melanjutkan kuliah S2 dia bekerja di sebuah perusahaan software di kota ini.

 

Selesai kuliah aku menyempatkan menuju tempat fotocopy, mengcopy beberapa lebar soal dari dosen. Seketika sebuah pesan masuk. Dari kak Lisa, kali ini dia mengajak untuk bertemu di café depan rumah kontrakannya.

 

“Sudah lama kak?” Tanyaku pada gadis yang sedang serius membaca buku. Ia menoleh kemudian tersenyum ramah padaku. Penampilan kak Lisa memang selalu menarik  diperhatikan, kali ini ia mengenakan gaun merah dan jilbab berwarna hitam, terkesan berkelas.

 

“Ngga kok, kontrakan aku kan di depan. Kamus mau pesan apa ?”

 

“Terserah , cappuccino juga bisa. O ya, aku belum sholat ashar nih.”

 

“Kayaknya di sini ada mushollah, kamu bisa tanya pegawai di sana.” Jelas kak Lisa sambil mengisyaratkan seorang gadis yang sedang berdiri

Selesai sholat kami menikmat secangkir kopi dan terlarut dalam bacaan masing-masing. Aku melirik buku yang dipegang gadis di hadapanku dan pertanyaan itu tak mampu kutahan.

 

“Sepertinya buku itu menarik.”

 

“Aku merekomendasikan buku ini untuk kamu baca Anggi.” Kak Lisa menutup buku ditangannya. “Kamu masih ingat kan diskusi kita tempo hari?, Kedamaian di dunia tidak akan terwujud kalau setiap agama tetap dalam keegoisan keyakinan mereka sendiri.”

 

“Maksudnya?”

 

“Yahh, seperti yang kita lihat, anarkisme ada di mana-mana, konflik antaragama, adu domba, semua karena masing-masing kubu merasa benar sendiri dan menganggap yang lainnya salah. Doktrin agama mengajarkan untuk itu. Bagaimana kedamaian bisa terwujud bila agama sendiri mendoktrin kita untuk membenci umat lain?” jelas kak Lisa mantap. Aku menatap lama gadis dihadapanku, mencerna setiap kata yang meluncur dari mulutnya.

“Saya pikir tidak satu pun agama yang mengajarkan tentang kekerasan.”

 

“Iya, betul tapi doktrin merasa agamanya benar itulah yang memicu konflik dan kekerasan. Padahal perbedaan mereka hanya sebatas dalam ritual dan hal-hal teknis saja kan.”

 

“Saya semakin tidak faham, ritual? Teknis? “ Diskusi kami semakin menarik

 

“Kamu harus membuka lebih lebar lagi cakrawala pemikiranmu, cobalah berada pada posisi yang netral dan tidak memihak pihak mana pun. Ibarat sebuah pyramid, semua agama berada pada level bawah dan mereka mempunyai ritual tersendiri dan cara ibadah masing-masing. Dan coba kita telusuri, di balik islam ada Allah, di Balik Kristen ada Yesus, di balik Hindu dan budha ada dewa. Mereka mempunyai ritual yang berbeda-beda yang nantinya akan tertuju pada puncak piramida itu. Siapa lagi kalau bukan tuhan yang sama.” Kak Lisa mengangkat cangkir kopi sambil memperhatikan ekspresiku yang terlihat kebingungan.

 

“Berarti menurut kakak semua agama itu benar dan secara substansi sama saja, hanya secara teknis berbeda-beda.” Aku mencoba menangkap maksudnya dan dijawab dengan anggukan kecil. “ Tapi Islam itu agama wahyu, dan jelas mempunyai pedoman Al-Qur’an yang merupakan firman Allah. Sudah jelas didalamnya hanya agama islam yang diridhoi.

 

“Pemikiran beragama seperti itulah yang saya katakan kolot, Syariat Islam secara teknis banyak dipraktekkan oleh nabi Muhammad dan siapa dia? Manusia. Sama dengan syariat mereka tidak lain adalah bentuk ajaran dari paus, Budha dari sidharta Gauthama dan banyak lagi dari agama lain. Mereka menyembah dengan cara yang berbeda-beda karena diajarkan oleh manusia yang berbeda-beda pula, tapi secara substansi mereka menyembah tuhan yang sama.”

 

Dsikusi kami berakhir sebelum adzan magrib berkumandang, aku segera berpamitan pada kak Lisa.

Sampai di rumah Aku , Dijah dan kak Alif menikmati makan malam sambil menceritakan diskusi di café tadi. Keponakanku Rangga sudah tidur. Kak Alif memasang roman serius mendengar ceritaku tentang kak Lisa dan diskusi-diskusi kami.

 

“Coba kamu tanya, dia itu Islam apa bukan?” Jelas Kak Alif

 

“Ya jelas islam dong kak, orang dia berjilbab.” Belaku

 

“Ya kalau dia Islam harusnya dia konsisten dengan syahadat yang dia nyatakan. Dia hanya meyakini Allah dan Rasulnya itu benar, lagian hanya Islam yang diridhoi, itu bukan karangan Rasulullah tapi itu murni dari AL-Qur’an firman Allah. Coba kamu tanya dia, kalau dia memang seorang Muslim dia harus meyakini itu. Ini bukan masalah ritual, teknis dan sebagainya, ini masalah keyakinan. Coba kakak tanya, Anggi sebagai orang islam babi itu halal atau haram?”

 

“Haram.”

 

“Tapi bagi orang Kristen babi itu halal bahkan menjadi makanan yang digemari. Menurut Anggi sebagai orang Islam itu benar apa salah?”

 

“Salah kak.”

 

“Ya itu dia, kita menganggap apa yang diyakini oleh orang Kristen itu salah begitupun sebaliknya. Mereka menganggap apa yang kita orang Islam yakini itu pun itu salah di mata mereka.” Jelas kak Alif.

 

“Tapi kan kita harus keluar dari belenggu agama masing-masing. Kita harus melihatnya dari kacamata netral, tidak memihak agama manapun.” Aku mencoba menjelaskan gagasan yang pernah disampaikan kak Lisa.

 

“Justru dengan kau keluar dari sudut pandang sebagai seorang beragamam maka, secara tidak sadar kau telah membuat teologi baru, gagasan baru, alias agama baru. Orang-orang seperti itu dikenal sebagai orang dengan ideology abu-abu, mereka tidak punya pendirian dan prinsip, justru itu yang berbahaya.” Kak Alif terlihat emosional dengan diskusi kami malam ini.

 

“Ingat Anggi, orang-orang seperti itu tidak akan menyelesaikan konflik, justru mereka akan membuat konflik baru. Mereka tanpa sadar membuat gagasan baru, gerakan baru dan secara tidak langsung pun akan menyalahkan orang-orang yang yakin akan kebenaran agamanya. Apa bedanya coba?” Lanjutnya

 

“Tapi kak…” Tanggapku ragu. “Katanya, doktrin merasa benar itulah yang akhirnya memicu konflik antarumat beragama, konflik Ambon dan Poso, Terorisme, anarkisme dan sebagainya…”

 

“Keyakinan semua agama jelas berbeda dan tidak mungkin akan disamakan. Tapi kita harus ingat, semua agama menjunjung tinggi kemanusiaan dan menolak segala bentuk kekerasan. Nggak usah terlalu ribet buat teori sana sini untuk menyamakan semua agama sampai membuat teologi baru, sok plural. Cukup jadi Penganut  yang taat perintah agamanya masing-masing. Kalau seperti itu kan segala bentuk pelanggaran kemanusiaan dan kekerasan tidak akan pernah terjadi. Ya, kalau masing-masing umat beragama taat pada perintah agamanya,  tapi kenyataannya berbeda kan. Mereka melakukan terorisme dan anarkisme itu karena mereka belum faham tentang agama mereka.”

 

“Tipuan itu banyak bentuknya.” Dijah menimpali, “ Humanisme, Justice,freedom, kedamaian… mereka mengemas itu semua dalam bentuk teori, aliran pemikiran dan banyak akademisi di Indonesia yang bangga bila mengutip teori smith, Lasurdo,Mixes dan banyak lagi. Mereka lupa kalau dari kalangan Muslim juga sangat banyak ilmuan sekelas Avicenna, Ibnu Khaldun dengan Muqaddimah,dan  Al-Faraby. Mereka mengabaikan itu dan lebih memilih teory-teory barat.”

 

Aku mengangguk pelan.

 

“Jangan ikut-ikut masuk ke lubang biawak!” Kak Alif bangkit dan berlalu.

 

Seminggu berlalu sejak pertemuanku dengan kak Lisa di café depan kontrakannya. Masing-masing kami disibukkan dengan berbagai tugas dari dosen, sebentar  lagi dia akan melakukan penelitian untuk tesisnya. Ada beberapa hal yang membuatku agak tertarik dengan sosok seperti dia. Perempuan itu rela berjalan kaki berkilometer demi menghadiri kajian dan kuliah umum di kampus lain. Selain itu ia rela mengunci diri dalam kamar demi menghabiskan setumpuk buku yang baru dibelinya.

 

Benar kata kak Alif, Seandainya semangat keilmuannya juga dimanfaatkan untuk mendalami berbagai literature islam, pasti akan sangat menarik. Batinku

 

Udara siang menyapu wajahku , seketika mataku menangkap sosok gadis yang duduk di kursi taman. Terdiam dalam pikirannya sendiri, terkubur dalam gagasan-gagasannya. Kak Lisa.

 

“Hei, Kak!” Sapaku dan dengan sekejap duduk di sampingnya

 

“Anggi’, kamu darimana?”

 

“Kelasku baru saja kelar. Hm.., boleh tidak aku pinjam buku?” 

 

“Boleh, ikut ke kontrakan saja.” Kami bangkit dan menuju rumah perempuan ini.

 

Aku mengamati beragam buku yang tergeletak dan berjejer rapi di raknya, buku yang didominasi tentang gerakan perempuan.

 

“Suka membaca tentang gerakan perempuan?” Selidikku

 

“Sangat suka, itulah cita-citaku. Aku ingin perempuan di dunia khususnya di Indonesia mendapatkan kebebasan yang semestinya.” Sebuah senyum merekah di wajahnya. “Perempuan telah banyak mengalami ketertindasan, mereka kehilangan hak dan kebebasan untuk bisa setara dengan laki-laki.”

 

“Tapi perempuan itu berbeda dengan laki-laki. Maksud saya mereka memang diciptakan mempunyai peran dan potensi yang berbeda.”

 

“Pengalaman mengajarkanku banyak hal Anggi’, aku pernah melihat langsung bagaimana Ayah tiriku menyiksa dan menelantarkan ibuku tanpa sedikitpun rasa kasihan. Apa karena dia seorang perempuan?” Tiba-tiba kedua matanya menatapku tajam, samar-samar aku merasa ada sebentuk dendam di kedua mata itu. Rasa ketertindasan akan selalu memberikan bentuk trauma dan amarah bila mengingatnya kembali.

 

Aku masuk ke dalam rumah dengan membawa beberapa buku. Melihat buku-buku yang kubawah Dijah ikut penasaran.

 

“Ngeborong nih!”

 

“Pinjaman dari kak Lisa.” Jawabku sambil menyimpan buku-buku di atas meja. Lama Dijah memperhatikan buku-buku tersebut, dibolak-balik secara bergantian, dibaca halaman depan dan belakang, tak lama ia menyimpannya kembali. “ini buku feminisme. Jangan dibaca!” Perintahnya. “Tunggu sampai kak Alif pulang.”

 

Aku menatap nanar ke luar jendela kamarku. Yogyakarta, sebuah kota yang menjadi pelarian manusia-manusia yang haus akan ilmu. Kak Alif melanjutkan kuliah di sini dan menemukan jodohnya di kota ini, dengan alasan kecintaan terhadap ilmu itu pula membuatku mengikuti jejaknya.  Mungkin kak Lsa adalah perempuan yang sama sepertiku, mempunyai keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu. Tapi kenapa dia mempunyai pemikiran yang sangat jauh berseberangan dengan kak Alif? Apa memang seperti ini rupa kota pendidikan? Segala isme dan pemikiran saling berperang untuk mendapat pengikut setianya.

 

Sejak kak Alif pulang aku mendapatkan nasehat yang tidak biasa.

 

“Jangan bergaul dengan perempuan itu!” Tegasnya , “Aku berpikir kalau dia adalah penggerak yang militant dari gerakan yang rusak ini. Dia membolehkan segalanya, perkawinan sesame jenis, aborsi, mengganti peran perempuan dengan laki-laki. Ini pemikiran yang liar.”

 

Aku merebahkan tubuh ke atas tempat tidur, menatap nanar lampu di atas langit-langit kamar. Aku harus mengembalikan buku itu besok.

 

Aku berpamitan pada kak Alif dan Dijah, membawa buku-buku kak Lisa. Karena sekarang hari minggu aku memutuskan untuk membawa buku ini langsung kepadanya dan menjelaskan semua, tentang keraguanku dan tentang larangan kak Alif.

 

Mendung menyelimuti kota ini, perlahan aku berjalan menikmati sore yang damai dan ramai hingga langkahku terhenti pada sebuah rumah bercat putih. Aku melangkah mencoba menerawang di balik jendela rumah, memastikan apakah kak Lisa ada atau sedang keluar rumah.

 

Tiba-tiba kedua mataku menangkap sosok laki-laki bermata jeli, di dalam rumah samar dan sedang bersama seniorku kak Lisa.

 

Apa yang mereka lakukan?

 

Mereka saling berhadapan, menatap penuh kerinduan. jantungku terasa ingin membeku menyaksikan sepasang kekasih itu sedang berciuman.

 

Astaghfirullah!!

 

Mataku menahan isak yang tak tahan ingin menderas, setelah betul-betul memastikan kalau mereka bukanlah sepasang laki-laki dan perempuan, tetapi sepasang perempuan.

 

“Tok!Tok!Tokkkk!!” Aku mengetuk dengan keterkejutan yang masih tersisa.

 

“Hei, Anggi’ Sejak kapan kamu di sini? Mari masuk!” Perempuan itu membuka pintu rumahnya dengan ekspresi yang sangat ramah.

 

“Saya melihat semuanya.” Jawabku kaku tanpa mengikuti ajakannya untuk masuk. “Kakak ini orang Islam apa bukan ?” Pertanyaan itu mengalir dari mulutku sambil menatap kedua mata perempuan di hadapanku. Lama kami bersitatap dalam suasana tegang.

 

“Iya saya memang orang Islam…., dan saya Liberal!”



About the author

160