MENJADI INDONESIA

Posted on at


Dahulu, dari abad 16 sampai dengan awal abad ke-19, bangsa kita direkatkan oleh perih dan menderitanya hidup di bawah penjajahan, lalu munculah solidaritas bersama. Perasaan senasib sepenanggungan itu kemudian berbaur dengan romantisme sejarah akan kejayaan Sriwijaya, Majapahit, Mataram  dan kerajaan-kerjaan lain di timur Nusantara. Dilarutkan oleh cairan Kebangsaan, diaduk oleh Islam sebagai salah satu sentimen pemersatu, laju sejarah kita kemudian bercitarasa merdeka.

Dengan zeitgeist, semangat zaman, serta perasaan kebatinan rakyat yang dipupuk sejak awal pergerakan merumuskan identitas kebangsaan di awal abad ke-19, dan berlanjut pada masa pergerakan kemerdekan sepanjang hampir setengah abad, Indonesia kita artikan sebagai realitas yang berposisi diametral dengan kolonialisme. Indonesia bermakna tiada ada lagi kolonialis yang menindas kaum terjajah, Indonesia bermakna tiada lagi meneer yang menghisap cerutu, menghirup teh di pekarangan rumah yang terletak di puncak bukit sementara pemilik bangsa sesungguhnya, rakyat, mengganjal perut dengan kain sarung karena lapar dan malaria.

Indonesia bermakna tiada lagi tanam paksa yang menyengsarakan dan mematikan, tiada lagi pemerkosaan perempuan perempuan cantik pribumi oleh kaum kulit pucat yang bersikap serupa raja lalim yang serakah. Indonesia bermakna tiada lagi mayoritas pribumi yang sengsara dan minoritas asing yang bergelimang harta. Begitu indahnya harapan tentang sorga baru bernama Indonesia itulah yang membuat rakyat rela menjadi martir, mengorbankan darah serta nyawa untuk memperjuangkannya. 

Hari ini semangat dan bara api pergerakan kemerdekaan sudah padam, dan lepas dalam konteksnya. Memang, penjajahan dalam bentuknya yang vulgar sudah tidak tampak. Kolonialisme, penjajahan, perbudakan juga diskriminasi rasial dalam format yang terang terangan sudah pula menghilang.

Indonesia dalam pandangan kami, generasi yang lahir pada dekade 80an adalah raelitas yang sudah jadi, given, kami terima sebagai warisan. Indonesia kemudian berdegradasi menjadi ambigu, hadir sesederhana simbol. Bendera Merah Putih, Lambang Burung Garuda, Indonesia Raya dan Pancasila adalah simbol yang utama. Sederhananya, seprti kelakar saya waktu SMA. Menjadi Indonesia adalah senin pagi waktu upacara bendera, setelahnya kita adalah warga negara Amerika. Marah dengan pernyataan itu? Jangan dulu!

Mari secara arif kita berkaca, bukankah semua aspek dalam kehidupan kita semuanya serba asing. Teori Alfin Toffler dalam The Third Waves, juga Francis Fukuyama dalam The End Of History and The Last Man berlaku seratus persen hari ini. Bahwa dunia hari ini telah menjadi Global Village, dimana batas-batas teritorial dan kedaulatan menjadi semu, serta pada akhirnya nilai-nilai budaya demokrasi liberal ala amerika akan menjadi rumus wajib bagi seluruh penduduk bumi tanpa kecuali. Hari ini, kita cas cis cus dengan American English, memakai Hot Pants dan Skinny Jeans, makan Burger dan Coca Cola, berpakaian ala cowboy dengan Denim merk Levi’s dan Berpakaian formal dengan setelan jas. Sederhananya kita hari ini wajib untuk think as an american dan act as an American.

Nah, maka saya kira relevan bagi kita untuk melakukan interpretasi ulang mengenai apa itu makna menjadi Indonesia..



About the author

azis-doank

My name is Muhammad Azis Hakim, call me Azis..
I like everything about politics, military, reading, writing, billiard and golf..

Subscribe 0
160